Beranda » RENCANA TINDAK PENGENDALIAN YANG EFEKTIF TERHADAP AUDIT PENGADAAN BARANG/JASA DENGAN HPS SEBAGAI INDIKATOR PENGUJIAN SISTEM PENGENDALIAN INTERN BERBASIS RISIKO

RENCANA TINDAK PENGENDALIAN YANG EFEKTIF TERHADAP AUDIT PENGADAAN BARANG/JASA DENGAN HPS SEBAGAI INDIKATOR PENGUJIAN SISTEM PENGENDALIAN INTERN BERBASIS RISIKO

BAB I

PENDAHULUAN

 

  1. PENDAHULUAN

Belakangan ini semakin banyak kasus korupsi terungkap di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kepolisian, dan kejaksaan. Kasus-kasus tersebut cenderung berlatar belakang penggelembungan harga/ markup pengadaan barang/jasa (PBJ). Pelaku korupsi yang tertangkap melalui operasi tangkap tangan (OTT) oleh lembaga anti rasuah “KPK” sangat bervariasi, mulai dari aparat intern kementerian, lembaga, kalangan legislatif, dan bahkan kalangan yudikatif.

Namun sangat sedikit terungkapnya kasus korupsi yang informasi awalnya berasal dari lembaga pengawasan intern pemerintah atau APIP. Sering kita saksikan, terungkapnya kasus-kasus tersebut berawal dari operasi tertangkap tangan (OTT) para pelaku pada saat melakukan transaksi suap-menyuap. Setelah didalami, terungkap bahwa suap-menyuap dan korupsi dilatarbelakangi oleh adanya proyek pemerintah, yakni adanya pengadaan barang/jasa, dan lemahnya Sistem Pengendalian Intern Pemerintah.

 

  1. LATAR BELAKANG
  2. Latar belakang Pembangunan
  3. Pengembangan infrastruktur merupakan prasyarat bagi percepatan pembangunan perekonomian di Indonesia. Pembangunan sarana dan prasarana yang dibutuhkan oleh masyarakat tersebut tentunya harus diimbangi dengan pengadaan barang dan jasa yang baik. Namun dalam pelaksanaannya seringkali dijumpai berbagai penyimpangan dalam proses pengadaan barang dan jasa Pemerintah. Berdasarkan data penelitian yang dipublikasikan, kerugian Keuangan negara yang ditimbulkan akibat penyimpangan terhadap ketentuan pelaksanaan pengadaan barang dan jasa pemerintah ternyata nilainya cukup besar. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan menemukan adanya kebocoran dalam proses pengadaan barang dan jasa pemerintah sebesar ratarata 30%;
  4. Penyimpangan dalam pengadaan barang/jasa Pemerintah diindikasikan dengan banyaknya penanganan tindak pidana korupsi terkait pengadaan barang dan jasa yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) maupun oleh aparat penegak hukum lain di Indonesia. KPK menyatakan, kasus korupsi yang paling banyak dilakukan pejabat pemerintah umumnya dalam proyek pengadaan barang dan jasa. Pengadaan barang dan jasa merupakan jenis korupsi tertinggi yang ditangani KPK (http://www.merdeka.com). Penyimpangan dalam proses pengadaan barang dan jasa yang merugikan Keuangan negara merupakan salah satu bentuk tindak pidana korupsi.
  5. Permasalahan korupsi dengan modus Markup

Berdasarkan Laporan Tahunan KPK, dari berbagai upaya penindakan banyak kasus korupsi di Republik ini yang melibatkan pejabat publik dengan modus operandi fraud, yaitu dengan penggelembungan harga/ markup melalui penyusunan HPS.

 

  1. Latar Belakang-Kewajiban Melakukan Pengendalian

Berdasarkan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 Tentang SPIP:

  1. Untuk mencapai pengelolaan keuangan negara yang efektif, efisien, transparan, dan akuntabel, menteri/pimpinan lembaga, gubernur, dan bupati/walikota wajib melakukan pengendalian atas penyelenggaraan kegiatan pemerintahan. Pengendalian atas penyelenggaraan kegiatan pemerintahan dilaksanakan dengan berpedoman pada SPIP;
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang SPIP Pasal 13
    • Pimpinan Instansi Pemerintah wajib melakukan penilaian risiko.
    • Penilaian risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
  1. identifikasi risiko; dan
  2. analisis risiko.

(3) Berdasarkan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) BPK Semester I Tahun 2015, mengungkapkan 10.154 temuan yang memuat 15.434 permasalahan:

  1. 544 (48,88%) permasalahan kelemahan SPI;
  2. 890 (51,12%) permasalahan ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan senilai Rp33,46 triliun
    1. K/L/I/D wajib melakukan pengawasan Terhadap PPK, ULP/Pejabat Pengadaan dilingkungan masing-masing, dan menugaskan Aparat Pengawasan Intern yang bersangkutan untuk melakukan audit sesuai dengan ketentuan (pasal 116 Perpres Nomor 54 Tahun 2010);

 

  1. MAKSUD DAN TUJUAN

MAKSUD

Maksud dari penulisan ini adalah:

  1. Sebagai upaya dan inisiatif dalam mendukung APIP mencari strategi melalui pola tindak audit yang efesien dan efektif terhadap pencapaian tujuan audit Pengadaan Barang/ Jasa;
  2. Memperkuat komitment dan kerjasama antara Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dengan APIP selaku Quality Assurance dan Konsultasi, dalam meminimalisir risiko-risiko dalam PBJ.
  3. Memberikan panduan bagi segenap APIP, agar memiliki persepsi yang sama dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengendalikan penugasan audit.

TUJUAN

Tujuan dari penulisan ini adalah:

  1. Sebagai panduan bagi APIP melakukan penilaian (independen) untuk memastikan bahwa proses pengadaan barang/jasa telah dilaksanakan secara konsisten sesuai dengan prinsip dan etika pengadaan serta memenuhi ketentuan perundangan yang berlaku;
  2. Mendorong peran serta APIP secara efektif dengan memberikan keyakinan yang memadai/ penjamin mutu kepada manajemen dalam proses pengadaan barang/ jasa, khususnya kepada PPK terhadap penyusunan HPS;
  3. Memberikan gambaran rencana tindak pengendalian kepada PPK ke depan dalam upaya meminimalisir risiko fraud;

 

  1. PERMASALAHAN
  2. Permasalahan Korupsi di Indonesia

Akhir-akhir ini semakin banyak kasus korupsi terungkap di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kepolisian, dan kejaksaan, sebut saja kasus yang pernah hangat di masyarakat yang menyeret Seorang Perwira Tinggi berpangkat Inspektur Jenderal menghuni hotel prodeo yaitu pengadaan barang/ jasa Simulasi SIM; Kasus Pembangunan wisma atlit Hambalang yang menyeret Menteri dan Sekjennya; Dan terakhir adalah nyanyian merdu dari Nazarudin mantan bendahara Partai Demokrat yaitu dugaan penggelembungan harga/ mark up pengadaan e-KTP pada Kementerian Dalam Negeri serta masih banyak lagi kasus yang lain.  Ada suatu joke yang berkembang di masyarakat, yaitu “ Mahluk Baru atau Spesies Baru “ Para ilmuan mengumumkan temuan spesies baru, yang hidup di Indonesia. Dulu, mahluk hidup hanya tergolong dalam tiga kelompok utama antara lain 1. Carnivora, mahluk pemakan daging. 2. Herbivora, mahluk pemakan tumbuhan. Dan 3. Ominvora, mahluk pemakan tumbuhan dan hewan. Sekarang, berkat riset ilmiah, hadir pula Menpora, mahluk pemakan tanah Hambalang.

Dari pengalaman saat pelaksanaan audit dengan tujuan tertentu atas PBJ pada satker yang melaksanakan PBJ, secara masiv modus peyimpangan dilakukan saat penyusunan HPS. Harga Perkiraan Sendiri (HPS) adalah kasus yang paling banyak menimpa pelaksanaan pengadaan barang/jasa dengan modus kasus markup. Kondisi ini disebabkan PPK saat penyusunan HPS tidak melakukan identifikasi, menganalisa dan membuat suatu rencana tindak pengendalian risiko yang handal, mungkin juga PPK bekerja dibawah tekanan atau adanya kolusi dengan pemilik merk sebelumnya.

Modus operandi korupsi PBJ cenderung dilakukan dengan penggelembungan harga pengadaan barang. Modus ini dilakukan dengan melakukan kolusi di antara pihak-pihak yang terlibat dalam pengadaan barang. Sekalipun telah melakukan audit, ternyata APIP belum mampu mengungkap kasus penggelembungan harga yamg bermuara di peradilan. Apa sebenarnya permasalahan yang menyebabkan belum berhasilnya APIP dan bagaimana seharusnya APIP melakukan audit agar dapat menguak adanya penggelembungan harga? Melalui tulisan ini penulis mencoba memberikan rekomendasi kepada manajemen APIP dan para auditornya tentang bagaimana seharusnya melakukan audit atas dugaan penggelembungan harga.

 

Temuan utama Transparency International (TI) dalam Corruption Perception Index (CPI) 2015

  • Tahun 2015 skor Index Persepsi Korupsi Indonesia menjadi 36 dan menempati urutan 88 dari 168 negara yang diukur. Skor Indonesia secara pelan naik 2 poin, dan naik cukup tinggi 19 peringkat dari tahun sebelumnya. Skor CPI berada pada rentang 0-100. 0 berarti negara dipersepsikan sangat korup, sementara skor 100 berarti dipersepsikan sangat bersih.
  • Selain itu, dalam kajian yang telah dilakukan sejak tahun 2014 itu, KPK telah menemukan sejumlah modus yang acapkali dilakukan para “koruptor” untuk mengakali proses pengadaan barang tersebut.  Modus yang pertama yakni dengan sistem ijon. Dalam sistem itu, proyek yang anggaranya sebenarnya belum disetujui sudah diserahkan kepada vendor. Hal itu bisa saja mengindikasikan keberadaan persengkokolan antara pihak pemilik proyek dengan vendor yang ditunjuk. Selain sistem ijon, mereka juga mencatat keberadaan mark up harga, suap, dan manipulasi dokumen lelang.
  • Hasil kajian KPK itu merekomendasikan empat poin untuk mencegah praktik korupsi di sektor tersebut.  Rekomendasi pertama yakni kajian sentralisasi pengadaan barang dan jasa dengan batasan tertentu. Kedua, integrasi antara perencanaan penganggaran pengadaan barang dan jasa. Ketiga, yakni pengembangan perangkat pendukung di antaranya prinsip value for money dalam penjelasan efisien. Keempat, soal pengadaan sumber daya manusia yang mumpuni, terutama terkait inventarisasi di sektor tersebut.
  1. Permasalahan Pengendalian Intern Pemerintah
  2. Faktor Kelemahan Pengendalian Intern Pemerintah

Berdasarkan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I Tahun 2015 oleh BPK mengungkapkan 10.154 temuan yang memuat 15.434 permasalahan:

  • 544 (48,88%) permasalahan karena faktor kelemahan SPI;
  • 890 (51,12%) permasalahan ketidakpatuhan/ compliance terhadap ketentuan  peraturan perundang-undangan senilai Rp33,46 triliun
  1. Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) saat ini sudah memasuki usia 9 tahun sejak di launching oleh Presiden SBY Tahun 2008 yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang SPIP, sebagai ilustrasi ibarat seorang bayi saat ini sudah memasuki kelas 4 SD sudah mengetahui mana yang boleh dimakan dan mana yang tidak boleh, artinya pola pikirnya sudah dapat mengidentifikasi dari suatu benda. Berbeda saat bayi tersebut baru lahir (balita) pola pikir belum tumbuh dewasa dan belum dapat mengidentifikasi risiko, semua makanan yang disodorkan akan dimakannya, jika demikian pasti kita sudah dapat diduga dampaknya terhadap bayi tersebut.

 

  1. Inefesiensi Anggaran sebagian besar dari Belanja PBJ

Penyerapan Anggaran untuk belanja yang inefesiensi mengakibatkan kerugian negara sebagian besar disuport dari belanja modal (PBJ), kondisi tersebut fakta berdasarkan hasil pemeriksaan dari Institusi yang berkompeten, seperti sbb.:

ADB, Bank Dunia: 10 – 50 %

BPK:                        20 – 50 %

BPKP:                     10 – 30 %

APBN/ APBD: Dengan pagu sebesar Rp. 500 T dibelanjakan melalui Pengadaan B/J, dan jika asumsi inefesiensi sebesar 20 % maka inefesiensi sebesar Rp. 100 T.

 

  1. Modus Korupsi dalam Pengadaan Barang/Jasa

Modus yang umum dilaksanakan dalam pengadaan barang/jasa dewasa ini adalah penggelembungan hargamarkup. Dari segi pencairan keuangan negara/daerah, modus ini  memang sangat memungkinkan dan lebih aman bagi pelakunya. Untuk pengadaan barang/jasa bagi instansi pemerintah, pembayaran kepada penyedia barang dilakukan secara LS (langsung), yakni dari kas negara/daerah ditransfer langsung ke rekening penyedia barang/jasa. Dengan demikian maka status uang tersebut telah menjadi milik perusahaan yang secara akuntansi dilindungi rahasianya. APIP tidak lagi mengaudit uang yang telah berada pada penyedia barang. Penggunaan uang sepenuhnya menjadi kewenangan perusahaan penyedia barang sebagai pemiliknya.

Karena penyedia barang telah memiliki kewenangan penuh terhadap uang hasil pembayaran proyek pemerintah, maka perusahaan berhak untuk menggunakan uang sesuai keinginannya. Termasuk jika uang tersebut digunakan untuk memberikan suap kepada pihak-pihak yang dinilai berjasa dalam pemenangan pelelangan. Pengeluaran uang untuk suap seperti ini pun secara bisnis dianggap wajar, sebagai biaya pemasaran.

Pada awalnya, kewenangan perusahaan untuk menggunakan uang hasil proyek untuk memberi kepada pihak terkait ini hanya dianggap sebagai “uang terima kasih”. Namun belakangan pemberian tersebut dijadikan modus untuk bisa membagi-bagi uang negara kepada pihak-pihak terkait yang tidak bertanggung jawab. Untuk dapat membagi-bagi uang secara tidak bertanggung jawab ini maka harga proyek dimahalkan. Semakin banyak pihak yang terkait dengan pengadaan barang dan semakin agresif pihak-pihak terkait, akan semakin besar pula harga yang harus ditanggung oleh negara/daerah. Modus tersebut bahkan semakin menjadi trend. Inisiatif penggelembungan harga tidak hanya berasal dari oknum calon penyedia barang, melainkan dapat berkolusi antara oknum pengusaha dan oknum penguasa proyek.

Modus operandi korupsi PBJ cenderung dilakukan dengan penggelembungan harga pengadaan barang. Modus ini dilakukan dengan melakukan kolusi di antara pihak-pihak yang terlibat dalam pengadaan barang. Sekalipun telah melakukan audit, ternyata APIP belum mampu mengungkap kasus penggelembungan harga yamg bermuara di ranah peradilan.

  1. Menghabiskan Anggaran

Penggelembungan harga dilakukan dengan meninggikan harga proyek hingga dapat menyerap hampir seluruh anggaran yang tersedia. Karena anggaran proyek umumnya relatif longgar, maka dengan menghabiskan anggaran berarti selisihnya dapat ”dimanfaatkan” bersama. Tentang penggelembungan harga dibandingkan dengan anggaran yang tersedia, terdapat dua kemungkinan yang terjadi. Pertama, anggaran yang relatif sudah tinggi. Untuk ini kualitas barang/jasa yang dibeli relatif standar sesuai dengan keinginan pengguna barang. Penggelembungan harga seperti ini dimaksudkan untuk menghabiskan anggaran. Kedua, anggaran yang tersedia relatif rendah atau pas-pasan. Dalam kondisi seperti ini penggelembungan harga masih dapat dilakukan dengan menetapkan kualitas/spesifikasi barang yang lebih rendah. Jadi sama saja, apakah anggaran yang terlalu longgar atau pas-pasan, jika diniatkan, kolusi antara oknum pengusaha dengan oknum penguasa proyek masih dapat menggelembungkan harga.

  1. Peran APIP kurang efektif dalam pengungkapan Fraud

Dari fakta yang ada terhadap berbagai pemberitaan baik media cetak maupun elektronik kasus penggelembungan harga/ mark up sering kita saksikan diketahui setelah basah kuyup, para pelaku ditangkap melalui Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada saat melakukan transaksi suap-menyuap atau terungkap melalui penyidikan oleh lembaga anti rasuah (KPK) terkait proyek pengadaan barang/ jasa, dan kondisi demikian yang merupakan kasus korupsi sangat sedikit sekali terungkap, yang informasi awalnya berasal dari lembaga pengawasan intern pemerintah atau APIP. Kemudian timbul pertanyaannya yang sering disuarakan oleh yang terhormat wakil kita di senayan (DPR), masyarakat bahkan lembaga ad-hoc yang independent (KPK) yaitu “Kemanakah auditor internal (APIP) kementerian/ lembaga tersebut“?, jawabannya tahu (tapi tidak berani mengungkap karena kalah pamor ???, tidak tahu atau pura-pura tidak tahu ( ini semua akan terungakap pada saat kasus tersebut bergerak ke proses litigasi, dimana APIP akan dijadikan sebagai saksi ahli).

 

  1. RUANG LINGKUP

Ruang lingkup dari penulisan ini dibatasi hanya pada pengujian HPS aspek kewajaran harga pada Pengadaan Barang/ Jasa, dengan mengenali risiko penyusunan HPS yang tidak dilengkapi dengan dokumen pendukung yang benar dan menguji bukti dokumen pendukung, serta menghilangkan penyebab dan meminimalisir dampak dengan membuat rencana tindak pengendalian yang handal berbasis risiko.

 

  1. METODOLOGI

Metodologi dari penulisan ini adalah merupakan pola pikir penulis untuk menekan tingkat korupsi, yaitu sinergi antara kerangka teori korupsi “GONE” dengan menggunakan Sistem Pengendalian Intern yang efektif sebagai penetrasi terjadinya fraud dalam pengadaan barang/ jasa. Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang menjadi judul tulisan ini merupakan kasus yang paling banyak menimpa pelaksanaan pengadaan barang/jasa adalah kasus markup dan salah satu penyebabnya terletak pada penyusunan HPS, sehingga penulis mengkaitkan dengan unsur-unsur dan sub unsur dalam SPIP.

KERANGKA TEORI

Kondisi-kondisi permasalahan tersebut diatas selaras dengan kerangka teori korupsi yang dinamakan dengan Theory GONE yang dicetuskan oleh pemikir Jack Bologne mengatakan, akar penyebab korupsi ada empat: Greed, Opportunity, Need, Exposes. Dia menyebutnya GONE theory, yang diambil dari huruf depan tiap kata tadi.

Greed terkait keserakahan dan kerakusan para pelaku korupsi. Koruptor adalah orang yang tidak puas pada keadaan dirinya. Punya satu gunung emas, berhasrat punya gunung emas yang lain. Punya harta segudang, ingin pulau pribadi.

Opportunity terkait dengan sistem yang memberi lubang terjadinya korupsi. Sistem pengendalian tak rapi, yang memungkinkan seseorang bekerja asal-asalan. Mudah timbul penyimpangan. Saat bersamaan, sistem pengawasan tak ketat. Orang gampang memanipulasi angka. Bebas berlaku curang. Peluang korupsi menganga lebar.

Need berhubungan dengan sikap mental yang tidak pernah cukup, penuh sikap konsumerisme, dan selalu sarat kebutuhan yang tak pernah usai.

Exposes berkaitan dengan hukuman pada pelaku korupsi yang rendah. Hukuman yang tidak membuat jera sang pelaku maupun orang lain. Deterrence effect yang minim.

Empat akar masalah di atas merupakan halangan besar pemberantasan korupsi. Tapi, dari keempat akar persoalan korupsi tadi, bagi saya, pusat segalanya adalah sikap rakus dan serakah. Greed, sistem yang bobrok belum tentu membuat orang korupsi. Kebutuhan yang mendesak tak serta-merta mendorong orang korupsi. Hukuman yang rendah bagi pelaku korupsi belum tentu membikin orang lain terinspirasi ikut korupsi.

Pendeknya, perilaku koruptif bermula dari sikap serakah yang akut. Adanya sifat rakus dan tamak tiada tara. Korupsi, meminjam syair Rendra, menyebabkan ada orang yang berlimpah, ada yang terkuras; ada yang jaya, ada yang terhina; ada yang mengikis, ada yang habis. Korupsi paralel dengan sikap serakah

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

  1. ANALISIS MASALAH

Permasalahan korupsi seperti yang disebutkan diatas disebabkan belum efektifnya penyelenggaraan SPIP, dan sebagai pemicunya adalah unsur lingkungan pengendalian yang kurang kondusif yaitu pada sub unsur penegakan integritas dan etika serta peran APIP yang kurang efektif implementasinya. Kondisi lingkungan pengendalian yang tidak kondusif akan menjadi tempat yang subur tumbuhnya praktik “Korupsi”. Penggelembungan harga/ markup merupakan penyakit yang kronis terhadap PBJ dan terus dilakukan ditambah adanya “kepentingan” yang menunggangi, kemudian belum optimalnya upaya pencegahan dari manajemen untuk mengungkap secara serius. Pengungkapan permasalahan korupsi sebenarnya merupakan tupoksinya APIP, sebagai quality assurance APIP seharusnya mengawal proses pengadaan sejak perencanaan sampai dengan serah terima hasil pengadaan, dan memberikan rekomendasi peringatan dini seandainya diketahui ada gejala kondisi proses bisnis yang mempunyai risiko tinggi melakukan penyimpangan.

 

  1. SINERGITAS TEORI “GONE” dan UNSUR SPIP

Penulis mencoba melakukan analisis pembahasan masalah korupsi dengan sinergitas kerangka teori korupsi “GONE” dengan menggunakan System Pengendalian Intern yang efektif sebagai penetrasi terjadinya fraud dalam pengadaan barang/ jasa.

Teori GONE tersebut dapat dikendalikan dengan penerapan unsur SPIP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan menyatu dan menjadi bagian integral dari kegiatan Instansi Pemerintah, utamanya melaui unsur Lingkungan Pengendalian dan Penilaian Risiko.

Greed atau Serakah, merupakan sifat manusia yang bersentuhan dengan nilai integritas SDM (Soft Control) dalam SPIP masuk kategori unsur Lingkungan Pengendalian sub unsur penegakan integritas dan etika, inputnya adalah integritas SDM (Soft Control), orang yang mempunyai sifat serakah kecenderungannya akan selalu melakukan fraud;

Integritas adalah konsistensi antara nilai dan tindakan. Orang yang berintegritas akan bertindak konsisten sejalan dengan nilai-nilai, kode etik, serta kebijkan organisasi dan/atau profesi, walaupun dalam keadaan yang sulit untuk melakukannya. Integritas didefinisikan juga dengan suatu nilai kepribadian yang dilandasi dengan sifat jujur, bijaksana, berani dan bertanggungjawab untuk membangun kepercayaan guna memberikan dasar bagi pengambilanan keputusan yang handal. Jika dikaitkan dengan kode etik, integritas didefinisikan sebagai tindakan yang konsisten terkait perbuatan baik dan benar, yang merupakan petunjuk keutuhan pribadi dan sikap konsisten yang jujur, berakhlak baik, amanah, transparan, akuntabel dan independen.

Analisis masalah sifat Greed/serakah dikaitkan dengan nilai integritas, berbanding lurus artinya Pengendalian intern yang handal adalah yang dilandasi dengan nilai integritas dan etika yang tinggi, dan sangat dominan sebagai pengendali sifat serakah.

Manfaat dari penegakan integritas dan nilai etika yang tinggi akan menekan tingkat korupsi, karena sebagian besar faktor penyebab korupsi terkait dengan masalah moral dan etika. Dengan terwujudnya nilai moral dan etika yang baik dan benar akan menekan tingkat korupsi di pemerintahan.

 

Oppotunity atau Kepentingan, yang dalam SPIP masuk kategori unsur Lingkungan Pengendalian yang merupakan domain organisasi/ manajemen. SDM atau organisasi yang sudah ditunggangi oleh kepentingan politik atau lainnya, cenderung tidak bisa menghindar, bahkan turut larut dalam irama tarian samba korupsi dengan cara berkolusi atau merekayasa suatu proses pengadaan, sejak dari perkenalan/ persentasi produk ke user, perencanaan dan proses lelang;

 

Analisis masalah oportunity dikaitkan dengan nilai integritas dan etika.

Secara konseptual, integritas dan nilai etika sangat jelas memberikan pengaruh positif pada organisasi dan individu. Integritas dan nilai etika harus diterapkan secara konsisten dalam tindakan sehari-hari, dan sebagai muara dari suatu upaya proses memilih benar-salah, adil-tidak adil, patut tidak patut, kepentingan pribadi,  golongan atau kepentingan lainnya.

Dengan terimplementasikan penegakan integritas dan nilai etika seluruh pejabat dan pegawai dalam organissi yang dilaksanakan dengan keteladanan pimpinan, penegakan disiplin yang konsisten, transparansi, serta terciptanya suasana kerja yang sehat, yang akhirnya akan menimbulkan suatu etos kerja dengan perilaku positif dan kondusif.

 

= Need atau Kebutuhan, orang yang mempunyai kebutuhan kecenderungannya akan mencari peluang yang menyimpang dari peraturan untuk memenuhi kebutuhannya walaupun tingkat risikonya sangat tinggi.

Need atau kebutuhan masuk kategori unsur lingkungan pengendalian dengan sub unsur penegakan integritas dan nilai etika; dan kepemimpinan yang kondusif;

Seperti yang disampaikan diatas bahwa sub unsur penegakan integritas dan nilai etika pada unsur Lingkungan Pengendalian adalah merupakan pondasi dari SPIP, adalah suatu nilai kepribadian yang dilandasi dengan sifat jujur, bijaksana, berani, transparan, bertanggungjawab dan pemberian reward-and punishment untuk membangun kepercayaan guna memberikan dasar bagi pengambilanan keputusan yang handal.

Sub unsur Kepemimpinan yang kondusif sangat diperlukan untuk mengendalikan sifat individu (SDM) yang mempunyai kebutuhan dan mencegah terjadinya risiko baik internal (pribadi) maupun eksternal, dengan cara membuat sistem pengendalian intern yang handal. Kepemimpinan yang kondusif didasarkan pada konsep “Tone at The Top” yaitu pemimpin memberikan keteladanan (lead by example) bagi bawahannya melalui berbagai kebijakannya.

Analisis masalah Need atau Kebutuhan yaitu pada dasarnya setiap manusia mempunyai kebutuhan, akan tetapi untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan golongannya diperlukan pengendalian yang handal, sehingga tidak terjadi penyimpangan yang melanggar peraturan. Dalam hal ini diperlukan nilai moral (soft control) yang tinggi yaitu bahwa setiap tindakan kita selalu diawasi oleh Allah SWT setiap saat dan akan dipertanggungjawabkan, sehingga niat untuk melakukan penyimpangan dapat dikendalikan.

 

E =  Exposure atau Pengungkapan yang dalam SPIP masuk kategori unsur Lingkungan Pengendalian organisasi/ manajemen sub unsur kepemimpinan yang kondusif dan unsur penilaian risiko. Kepemimpinan yang kondusif juga diperlukan untuk mencegah terjadinya risiko internal dan terjadinya kolusi, sehingga pengendalian intern berjalan dengan baik. Kepemimpinan yang kondusif juga didasarkan pada konsep “Tone at The Top” yaitu pemimpin memberikan keteladanan kepada bawahannya, melalui berbagai kebijakannya yang mendukung terlaksananya SPIP secara efektif. Melalui kebijakan yang tegas dari seorang pimpinan terhadap suatu gejala penyimpangan yang direkomendasikan dari APIP atau eksternal harus segera ditindaklanjuti jika perlu diberikan sangsi atau dilanjutkan ke ranah litigasi untuk memberikan efek jera.

Unsur penilaian risiko yang merupakan domain dari APIP dengan sub unsur identifikasi risiko dan analisis risiko, apabila tidak dilakukan aktivitas pengendalian yang efektif merupakan penyumbang terhadap suburnya kejadian yang terindikasi fraud jika tidak diungkap oleh manajemen maka berisiko akan berulang, dan akan dijadikan teladan yang tidak baik bagi orang lain, yang akhirnya terjadi penyimpangan secara masiv dan berjamaah.

 

  1. PENGENDALIAN ( SPI ) VS FRAUD
    1. Menurut Peterson & Gibson (2003) yang dikutip oleh Rae & Subramaniam (2008):1)
      • Prosedur pengendalian internal yang jelek sebagai faktor yang memungkinkan terjadi fraud;
      • Melalui pengendalian internal yang handal, organisasi dapat mencegah, menghilangkan bahkan menekan need dan greed yang mengawali terjadinya fraud oleh pegawai atau karyawan, dan membantu mengurangi fraud karena adanya peluang (opportunity) yang disebabkan lemahnya sistem pengendalian internal
    2. Hasil penelitian Puslitbangwas BPKP terhadap persepsi responden: 2)
  • Faktor utama penyebab korupsi : moral yang rendah, sanksi yang lemah, rendahnya disiplin, sifat konsumtif dan lemahnya pengendalian/kurangnya pengawasan dalam organisasi.
  • Upaya paling efektif dalam memberantas korupsi : pemberian contoh/ teladan oleh atasan, sanksi yang tegas tanpa pandang bulu, perbaikan penghasilan, pendidikan agama dan etika, perbaikan sistem birokrasipeningkatan pengawasantransparansi kebijakan pemerintah, dan peningkatan peran lembaga legislatif.

1) Sulastri & Binsar H. Simanjuntak, Fraud pada Sektor Pemerintah Berdasarkan Faktor Keadilan Kompensasi, Sistem Pengendalian Internal, dan Etika Organisasi Pemerintah (Studi Empiris Dinas Pemerintah Provinsi DKI Jakarta), e-Journal Magister Akuntasi Trisakti Volume 1 Nomor 2 September 2014.

2) Penelitian Puslitbangwas BPKP tahun 1996/1997 berjudul “Penelitian Mengenai Korupsi: Jajak Pendapat Tentang Praktik, Faktor Penyebab, Instansi yang Terlibat, Cara Penanggulangan, Kegiatan yang Rawan  Korupsi,   Hambatan  yang  Dihadapi  dan  Tendensi  Korupsi”.

 

  • Hasil penelitian yang dilakukan oleh Association  of  Certified  Fraud Examiners (ACFE)  2004, ukuran-ukuran yang dipandang paling efektif dalam mencegah korupsi, sesuai urutan anjuran adalah sebagai berikut:
    • Pengendalian intern yang kuat;
    • Penelitian latar belakang pegawai baru;
    • Audit atas kecurangan secara reguler;
    • Keberadaan kebijakan menyikapi kecurangan;
    • Kemauan untuk melakukan penuntutan;
    • Pelatihan etika pegawai;
    • Mekanisme pelaporan anonim;
    • Suasana kerja.

 

  1. Pemecahan masalah

 

  1. Kegagalan Audit APIP
  1. Ruang lingkup audit yang terlalu luas

Penyebab mengapa APIP yang secara rutin melakukan audit tetapi kurang dapat mengungkap terjadinya penggelembungan harga, antara lain karena ruang lingkup audit yang terlalu luas, sehingga APIP tidak fokus. Umumnya penugasan audit dilakukan untuk satu objek audit secara lengkap yang meliputi seluruh anggaran yang dimiliki auditi. Anggaran tersebut meliputi anggaran pendapatan (PNBP), anggaran belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, dan audit atas tugas pokok dan fungsi/ audit kinerja. Dalam satu obyek audit, sangat mungkin terdapat banyak kontrak pengadaan barang/jasa yang dananya berasal dari belanja barang (Akun 52) dan belanja modal (Akun 53). Sebaiknya audit dibatasi dengan ruang lingkup tidak terlalu luas hanya audit pengadaan barang/jasa dan difokuskan pada kesesuaian harga, sehingga APIP dapat lebih fokus mencapai tujuan dan sasaran audit secara efektif.

 

  1. Waktu Audit yang terbatas

Dengan waktu audit yang terbatas dan luasnya lingkup objek audit, maka auditor  tidak dapat melakukan audit secara perfect dan mendalam. Apalagi jika audit terhadap kontrak pengadaan barang/jasa hanya difokuskan pada perencanaan dan prosedur pelelangan, maka sudah dapat dipastikan auditor tidak akan memiliki waktu untuk mengecek kewajaran harga kontrak yang daudit. Di sinilah APIP tidak dapat mendeteksi gejala terjadinya Fraud dan mengungkapkan adanya penggelembungan harga.

Sejatinya untuk mencapai sasaran dan tujuan audit, pelaksanaan audit dialokasikan waktu yang cukup sesuai dengan program kerja audit berbasis risiko. Audit difokuskan terhadap pengadaan barang/jasa dengan tujuan membuktikan kesesuaian harga kontrak dengan HPS, hasilnya dipastikan dapat mendeteksi gejala terjadinya Fraud dan mengungkapkan adanya penggelembungan harga.

 

  1. Pelaksanaan Audit PBJ yang Efektif
    1. Tujuan Keberadaan APIP

Fungsi APIP di Kementerian/ Lembaga nampaknya masih belum sepenuhnya diberdayakan sebagai quality assurance. Untuk keperluan pengawasan, di setiap kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah telah dibentuk APIP. Tujuan utama dibentuknya APIP, sebagaimana diatur dalam pasal 4 huruf g Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah adalah untuk: (1) memberikan keyakinan yang memadai/ Quality Assurance atas ketaatan, kehematan, efisiensi, dan efektivitas pencapaian tujuan penyelenggaraan tugas dan fungsi Instansi Pemerintah; (2) memberikan peringatan dini / Early Warning dan meningkatkan efektivitas manajemen Risiko dalam penyelenggaraan tugas dan fungsi Instansi Pemerintah; dan (3) memelihara dan meningkatkan kualitas tata kelola penyelenggaraan tugas dan fungsi Instansi Pemerintah.

  1. APIP memberikan keyakinan yang memadai/ Quality Assurance

Untuk tujuan pertama tersebut, yakni untuk memeroleh keyakinan yang memadai atas ketaatan, kehematan, efisiensi, dan efektivitas pencapaian tujuan penyelenggaraan tugas dan fungsi instansi pemerintah, APIP selalu melakukan audit. Namun, permasalahannya mengapa hasil audit APIP belum mampu mengungkap kasus yamg bermuara pada peradilan? Padahal dengan adanya korupsi, jelas unsur kehematan, efisiensi, dan efektivitas pencapaian tujuan pemerintahan tidak atau belum tercapai. Pertanyaannya dari masyarakat, bukankah di instansi-instansi yang terungkap adanya korupsi setiap tahunnya diaudit oleh APIP yang bersangkutan???

 

  1. Perlu Rencana Tindak Pengendalian yang Efektif Atas Audit PBJ Dengan HPS Sebagai Indikator Pengujian SPI Berbasis Risiko.

Sistem Pengendalian Intern (SPI) merupakan pengendalian yang harus dilaksanakan dan diterapkan secara terus menerus oleh seluruh Insan Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam menyelenggarakan tahap-tahap proses governance dalam rangka peningkatan kualitas akuntabilitas keuangan negara dengan integritas yang tinggi, sehingga mampu melakukan Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi.

  • Efektifitas Penyelenggaraan SPI
  1. Penyelenggaraan SPIP efektif bila mampu memberikan keyakinan yang memadai atas tercapainya tujuan organisasi melalui kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan.
  2. Penyelenggaraan SPIP yang handal dimaksudkan dapat mendukung peningkatan kinerja, transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara dan kegiatan/program di lingkungan pemerintah, dan bagi auditor dalam menyelenggarakan pemeriksaan terhadap pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara.

 

  • HPS Sebagai Indikator Pengujian SPI Berbasis Risiko

Untuk dapat memeroleh keyakinan yang memadai atas ketaatan, kehematan, efisiensi, dan efektivitas auditi, yang berarti APIP yakin bahwa auditi tidak melakukan penggelembungan harga terhadap HPS, APIP hendaknya melakukan dua strategi.

  • Pertama strategi atas penyelenggaraan SPIP, yaitu:

Tim audit saat survey pendahuluan melakukan reviu atas peta penilaian risiko Satker yang ada di manajemen APIP, dengan melakukan:

  1. Memastikan apakah Satker sudah membuat peta penilaian risiko PBJ dengan proses bisnisnya penyusunan HPS dan peristiwa risikonya kemahalan harga.
  2. Menguji rencana tindak pengendalian yang ditetapkan pada peta penilaian risiko terhadap proses bisnis penyusunan HPS.
  3. Apakah rencana tindak pengendalian sudah merupakan pengendalian handal yang dapat menghilangkan penyebab kemahalan harga dan meminimalkan akibat.

Hasil dari evaluasi atas peta penilaian risiko Satker dapat dijadikan referensi saat membuat peta risiko/ maping risk, yakni yang bersifat makro. Strategi ini dilakukan oleh manajemen APIP dalam perencanaan audit. Untuk ini APIP mengalokasikan waktu dan auditor secara khusus/serentak untuk mengecek kewajaran harga yang tertuang dalam Harga Perkiraan Sendiri (HPS) auditi. Alokasi waktu dan auditor ini dituangkan dalam Program Kerja Pemeriksaan Tahunan (PKPT). Sebelum melakukan penugasan yang serentak ini, APIP terlebih dahulu membentuk satu tim audit untuk melakukan survei pendahuluan. Survei dimaksudkan dilakukan melalui RUP, telaah dokumen dan konfirmasi untuk mengidentifikasi tingkat risiko penggelembungan harga satuan kerja mana yang melakukan pengadaan barang/jasa, dengan komponen:

  • Jenis barang/jasa apa yang dibeli;
  • Berapa nilainya;
  • Siapa PPK (pejabat pembuat komitmen)-nya;
  • Mekanisme survey harganya; dan sebagainya;

Hasil survei pendahuluan dijadikan acuan bagi APIP untuk membuat perencanaan audit, penugasan tim, alokasi waktu, dan kalkulasi biaya audit. Sasaran audit kewajaran harga ini adalah khusus melakukan survey harga pasar dan membandingkannya dengan harga yang tercantum dalam kontrak/ HPS, unsur-unsur harga tersebut meliputi syarat penyerahan (biaya pengiriman barang sampai ke lokasi penyerahan), biaya pelatihan (jika ada), biaya overhead secara wajar, laba wajar, dan PPN (pajak pertambahan nilai). Dengan demikian auditor hanya akan melaporkan peta risiko penggelembungan harga/ markup dari setiap satker yang melaksanakan kegiatan belanja modal, sehingga diperoleh seberapa tinggi Risiko harga kontrak pengadaan barang/jasa dibandingkan dengan harga wajarnya/HPS.

 

  • Kedua, strategi audit investigasi dalam rangka menghitung kerugian keuangan negara atas kontrak-kontrak pengadaan barang/jasa yang harganya dinilai terlalu tinggi atau tidak wajar. Terhadap laporan hasil audit yang mengindikasikan harga yang tidak wajar, APIP menugaskan kepada tim audit untuk mengecek apakah tingginya harga tersebut terdapat indikasi kesengajaan dan atau kolusi yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana korupsi.

 

  1. Prosedur Audit Kewajaran Harga

Prosedur audit merupakan langkah yang harus dilakukan oleh auditor untuk memeroleh bukti guna menyimpulkan apakah kegiatan telah atau tidak dilaksanakan sesuai dengan tolok ukur yang telah ditetapkan. Untuk menilai kewajaran harga, auditor harus membandingkan barang/jasa yang sama, antara harga yang tercantum di dalam kontrak pengadaan dengan harga wajar menurut pasaran umum. Harga pasaran umum dapat diidentifikasi dengan melakukan survei harga. Survei harga dapat dilakukan sebagaimana penyusunan harga perkiraan sendiri (HPS) yang diatur dalam Perpres Nomor 54 Tahun 2010.

Pasal 66 (7) Perpres Nomor 54 Tahun 2010 dan perubahannya menyebutkan bahwa penyusunan HPS didasarkan pada data harga pasar setempat yang diperoleh berdasarkan hasil survei dengan mempertimbangkan informasi yang meliputi: (a) informasi biaya satuan yang dipublikasikan secara resmi oleh Badan Pusat Statistik (BPS); (b) informasi biaya satuan yang dipublikasikan secara resmi oleh asosiasi terkait dan sumber data lain yang dapat dipertanggungjawabkan; (c) daftar biaya/tarif Barang/Jasa yang dikeluarkan oleh pabrikan/distributor tunggal; (d) biaya kontrak sebelumnya atau yang sedang berjalan dengan mempertimbangkan faktor perubahan biaya; (e) inflasi tahun sebelumnya, suku bunga berjalan dan/atau kurs tengah Bank Indonesia; (f) hasil perbandingan dengan kontrak sejenis, baik yang dilakukan dengan instansi lain maupun pihak lain; (g) perkiraan perhitungan biaya yang dilakukan oleh konsultan perencana (engineer’s estimate); (h) norma indeks; dan/atau (i) informasi lain yang dapat dipertanggungjawabkan. Pasal 66 (8) menyebutkan bahwa HPS disusun dengan memerhitungkan keuntungan dan biaya overhead yang dianggap wajar.

Dalam survei harga, auditor juga harus memertimbangkan unsur-unsur harga kontrak yang harus dipenuhi oleh penyedia barang/jasa. Unsur-unsur tersebut harus dimasukkan ke dalam unsur harga pada waktu melakukan survei agar harga menurut hasil survei memang layak untuk disandingkan dengan harga kontrak. Misalnya unsur lokasi penyerahan barang/jasa, pajak pertambahan nilai (PPN), dan sebagainya. Jika dalam kontrak menyebutkan bahwa barang harus diterima di lokasi proyek, maka auditor yang melakukan survei di toko harus memertimbangkan apakah pihak toko telah memasukkan harga pengiriman sampai ke lokasi proyek. Jika toko belum memasukkan biaya pengiriman, maka auditor harus memasukkan biaya pengiriman ke dalam harga barang yang disurvei. Demikian juga unsur PPN harus diyakinkan apakah hasil survei di toko sudah termasuk unsur PPN yang akan dipotong oleh bendaharawan instansi pemerintah.

Indikasi adanya kemahalan harga kontrak yang diketahui dari hasil audit kewajaran harga belum dapat dinyatakan sebagai kerugian negara. Hasil audit tersebut baru bernilai bagi manajemen APIP untuk menentukan perlu atau tidaknya audit lanjutannya, yakni audit investigatif. Jika hasil audit investigatif menyimpulkan bahwa kemahalan harga ternyata disebabkan oleh adanya unsur melawan hukum, maka selisihnya baru dapat diduga sebagai kerugian negara/daerah.

Kesulitan auditor saat akan mengujji HPS melalui survey harga untuk mencari harga dasar dari barang yang diperoleh melalui import. Selama ini memang ada kecenderungan dari auditor untuk mencari zona aman dengan kondisi tersebut (pura-pura tidak tahu, atau tidak ada keberanian yang sebenarnya tahu), pola tindak auditor selama ini hanya konfirmasi dengan PPK sebagai pejabat pengadaan yang menyusun HPS, dan menganggap keterangan dari PPK sudah benar tanpa menguji lebih dalam lagi. Auditor berusaha menghubungi pabrikan yang memproduksi barang tersebut, jawabannya, Please yau ask, my sole agent???, kalau sudah demikian sudah bisa diduga harganya tergantung sole agent, dan lebih miris lagi bahwa sole agent membuat anak perusahaan yang akan menjadi peserta lelang saat barang tersebut dilelang secara umum, semuanya diatur rapih, secara prosedur PBJ sudah memenuhi Perpres tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan peraturan lainnya. PPK saat dikonfirmasi atas proses penyusunan HPS jawabannya secara formal tidak salah karena sudah sesuai prosedur yaitu dengan membandingkan kontrak tahun lalu dan sudah memperhitungkan komponen-komponen pendukungnya seperti tingkat inflasi.

Terhadap kondisi demikian, auditor harus lebih mendalami proses penyusunan HPS akan tetapi diperlukan dukungan dan komitmen yang kuat dari pemangku kepentingan dengan cara memberikan akses, transparansi, dan dukungan moral, selain itu juga diperlukan auditor yang mempunyai integritas tinggi.

Ada strategi audit yang selama ini luput dilakukan oleh auditor untuk menggali harga dasar dari suatu barang yang diperoleh melalui mekanisme import yaitu :

  1. Melakukan penelaahan dan menguji dokumen penyusunan HPS yang diperoleh PPK, auditor jangan berhenti saat PPK menjawab bahwa harga diperoleh dari kontrak tahun lalu, tanyakan apakah dokumen shiping dari barang import yang merupakan dokumen negara oleh penyedia diberikan kepada PPK, dan dari dokumen shiping tersebut dapat diperoleh harga dasar dari pabrikan negara pengekspor dan harga tersebut tidak akan di markup oleh produsen karena terkait dengan pajak ekspor yang cukup besar. Seandainya dokumen shipping tersebut tidak diperoleh, lakukan konfirmasi kepada penyedia barang;
  2. Mencari akses lain yaitu konfirmasi ke Penyedia barang, tanyakan dokumen shiping yang merupakan dokumen order ke pabrikan seharusnya ada di penyedia, untuk memperoleh dokumen shiping tersebut sudah dapat dipastikan sulit diperoleh, karena proses pengadaan ini sudah bisa diduga ada unsur kolusinya dan persekongkolan yang tidak sehat;
  3. Pola pikir dan pola tindak terakhir auditor untuk mendalami kondisi demikian melakukan pengujian ke pabean yang ada di pelabuhan/ Dirjen Bea Cukai, dengan membawa data dukung yang bisa dipertanggungjawabkan, memang akan mengalami kesulitan karena auditor tidak mempunyai akses yang kuat seperti BPK, akan tetapi apabila dengan Surat Tugas Audit Investigasi kemungkinan ada kemudahan.

 

  1. Membuat Daftar Peringkat Kemahalan Harga/ Peta risiko HPS

Dari hasil audit kewajaran harga, di mana dalam laporan hasil audit disebutkan persentase seberapa tinggi tingkat harga kontrak dibandingkan dengan harga wajar atau harga pasaran setempat, maka APIP dapat membuat daftar peringkat kemahalan harga kontrak. Atas dasar daftar peringkat tersebut, APIP dapat mengambil kebijakan, kontrak-kontrak mana yang harus ditindaklanjuti dengan audit investigatif. Urutan dari yang tertinggi atas ketidakwajaran harga kontrak pada dasarnya merupakan urutan Risiko yang dihadapi Pengguna Anggaran (PA) atau Kuasa Pengguna Anggaran (KPA). Karena APIP adalah Instansi Pemerintah yang mempunyai tugas pokok dan fungsi melakukan pengawasan yang sifatnya membantu manajemen memberikan keyakinan yang memadai atas peringatan dini terjadinya gejala FRAUD, maka pimpinan harus mempunyai komitment yang tinggi menugaskan APIP untuk menindaklanjuti hasil audit kewajaran harga tersebut. Dibawah ini ditampilkan contoh matrik tingkat risiko hasil audit kewajaran harga dengan survey harga pada Satker yang melaksanakan Pengadaan Barang/ Jasa.

Matrik risiko kemahalan harga terhadap HPS atas PBJ

(Persentase Perbandingan antara HPS  dengan Hasil survey harga)

No. Nama Pekerjaan HPS (Rp.) Harga wajar hasil survey pasar Kemahalan Harga (Rp.) 

(3 – 4)

% Tingkat Risiko kemahalan harga (5 / 4)
1 2 3 4 5 6
1. Barang A 2.200.000.000 1.550.000.000 650.000.000 41.93
2. Barang B 1.200.000.000 950.000.000 250.000.000 26.3
3. Barang C 2.000.000.000 1.700.000.000 300.000.000 17.6
4. Barang D 3.000.000.000 2.600.000.000 400.000.000 15.38
5. Barang E 3.200.000.000 2.850.000.000 350.000.000 12.3

 

Terhadap matrik hasil audit kewajaran harga dengan melakukan survey harga pada Satker yang melaksanakan Pengadaan Barang/ Jasa, dapat dijadikan peta risiko tingkat kewajaran harga, sebagai referensi PKPT yang berbasis risiko. APIP dapat melaksanakan audit lanjutan Investigasi PBJ dengan prioritas berdasarkan tingkat risiko kemahalan harga yang tinggi, tentunya dalam penugasan audit investigasi perlu ditelaah kembali prioritas tersebut dengan memasukkan komponen-komponen lain yang berbasis risiko, seperti kondisi besaran anggaran, jenis barang, Riwayat dan Integritas PPK dan KPA, Lingkungan Pengendalian Satker.

 

B A B  III

Kesimpulan dan Saran

 

  1. Kesimpulan

 

  1. Sekalipun APIP di lingkungan pemerintah telah melakukan audit, ternyata belum mampu mengungkap kasus penggelembungan harga yamg bermuara di peradilan. Apa penyebab belum berhasilnya APIP dalam hal ini? Bagaimana seharusnya APIP melakukan audit agar dapat menguak adanya penggelembungan harga? Melalui tulisan ini setidaknya penulis mencoba sedikit memberikan saran kepada manajemen APIP dan para auditor intern pemerintah tentang bagaimana seharusnya melakukan audit atas dugaan penggelembungan harga. Penyusunan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang menyimpang paling banyak menimpa pelaksanaan pengadaan barang/jasa dengan kasus markup.
  2. Menyusun HPS membutuhkan keahlian tersendiri, selain harus memahami karakteristik spesifikasi barang/jasa yang akan diadakan, juga harus mengetahui sumber dari barang/jasa tersebut. Harga barang pabrikan tentu saja berbeda dengan harga distributor apalagi harga pasar.
  3. Korupsi yang dilakukan melalui markup selaras dengan Teori Korupsi “ GONE” dan dapat diamputasi melalui audit investigasi dengan pendekatan penyelenggaraan SPIP yang efektif dengan menerapkan audit berbasis risiko, misalnya untuk PBJ indikator risiko yang tinggi adalah Penyusunan HPS, karena hampir secara masiv di K/L PPK melakukan penggelembungan harga/ markup terhadap HPS, hasil audit dari APIP harus memberikan rekomendasi punishment kepada pelaku sebagai efek jera.
  4. Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) saat ini sudah memasuki usia 9 tahun atau sudah cukup maturitasnya sejak di launching oleh Presiden SBY Tahun 2008, namun belum ampuh sebagai senjata penetrasi korupsi (maturitas level SPIP masih pada level 2 “berkembang”). Kondisi ini disebabkan penyelenggaraan SPIP belum diimplementasikan secara menyeluruh oleh semua aparat sipil negara dari level rendah sampai top manajemen, hanya dilaksanakan secara formalitas untuk memenuhi amanah Peraturan Pemerintah, sebagai pemicunya adalah unsur lingkungan pengendalian yang belum terimplementasi dengan optimal yaitu pada sub unsur penegakan integritas dan etika serta peran APIP yang kurang efektif.
  5. Peluang penyimpangan hukum dalam penyusunan HPS oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) adalah tidak menyusun HPS sesuai dengan ketentuan. Jika HPS disusun sesuai dengan ketentuan, dapat dipastikan harganya sesuai dengan harga wajar.
  6. PPK menyerahkan penyusunan HPS kepada calon penyedia barang/jasa dengan menggelembungkan harga tersebut untuk memperoleh keuntungan pribadi atau kelompok. PPK langsung mengambil harga tersebut tanpa melakukan cek and recheck Akibatnya pada saat pengadaan selesai dan dilakukan pemeriksanaan, ditemukan mark up harga dan mengakibatkan kerugian negara.

 

  1. Saran-saran
  1. Menyelenggarakan SPIP secara menyeluruh dengan mengutamakan implementasi unsur lingkungan pengendalian sub unsur penegakan integritas dan nilai etika dan membuat peta penilaian risiko atas setiap kegiatan yang terkait dengan PBJ;
  2. Harus ada komitmen yang kuat dari pimpinan untuk mengungkap dugaan terjadinya markup, dan menindaklanjuti dengan menugaskan APIP melaksanakan audit lanjutan Investigasi PBJ dengan prioritas berdasarkan tingkat risiko kemahalan harga yang tinggi, tentunya dalam penugasan audit investigasi.
  3. Dalam penugasan audit PBJ sebaiknya dialokasikan waktu yang memadai dan ruang lingkup yang fokus.
  4. Hasil audit kewajaran harga dengan melakukan survey harga pada Satker yang melaksanakan Pengadaan Barang/ Jasa, dapat dijadikan peta risiko tingkat kewajaran harga, dan sebagai referensi PKPT yang berbasis risiko. Sehingga APIP dapat melaksanakan audit lanjutan Investigasi PBJ dengan prioritas berdasarkan tingkat risiko kemahalan harga yang tinggi.

 

 

Demikian penulisan makalah, semoga dapat bermanfaat bagi APIP, sebagai pedoman pelaksanaan audit PBJ berbasis risiko dengan HPS sebagai indikator pengujian. Sistem Pengendalian intern. Penulis menyadari tulisan ini masih jauh dari sempurna dan mohon masukan yang konstruktif dari pembaca untuk perbaikan.

 

Referensi:

  1. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah.
  2. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan Perubahannya.
  3. Sulastri & Binsar H. Simanjuntak, Fraud pada Sektor Pemerintah Berdasarkan Faktor Keadilan Kompensasi, Sistem Pengendalian Internal, dan Etika Organisasi Pemerintah (Studi Empiris Dinas Pemerintah Provinsi DKI Jakarta), e-Journal Magister Akuntasi Trisakti Volume 1 Nomor 2 September 2014.
  4. Penelitian Puslitbangwas BPKP tahun 1996/1997 berjudul “Penelitian Mengenai Korupsi: Jajak Pendapat Tentang Praktik, Faktor Penyebab, Instansi yang Terlibat, Cara Penanggulangan, Kegiatan yang Rawan Korupsi,   Hambatan  yang  Dihadapi  dan  Tendensi  Korupsi”.
  5. Strategi Umum Audit Pengadaan Barang/Jasa Bagi APIP Oleh Nirwan Ristiyanto.

Jakarta, Desember 2016